JAKARTA, iNews Media - Pandangan Partai Nasdem yang menginginkan adanya perjanjian tertulis bahkan secara Notariil dengan PDIP untuk penggunaan Hak Angket DPR RI, merupakan pandangan yang merendahkan derajat mekuatan mengikat dari UUD 45, UU MD3 dan Tatib DPR ketika negara hendak memerlukan.
Mengapa merendahkan sekaligus melecehkan, karena hak angket itu tidak melekat pada Partai Politik, tetapi pada UUD 1945, UU MD3, pada Tatib DPR dan pada Anggota DPR itu sendiri, terlebih-lebih demi membela kepentingan rakyat yang dirugikan akibat kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan UU dan berdampak merugikan rakyat.
Oleh karena itu ketika hak angket DPR itu hendak digunakan tetapi disertai dengan embel-embel perjanjian antar Partai Politik, maka hak angket itu akan menjadi "obyek perjanjian" yang sifatnya "transaksional" dan berpotensi dibelokan pada tujuan lain di luar kepentingan rakyat.
Harus digaris bawahi bahwa hak angket anggota DPR itu diberikan oleh pembentuk UU bukan tanpa syarat, melainkan karena terdapat kewajiban DPR yang terkorelasi dengan fungsi DPR sebagai "representasi rakyat". Tujuannya adalah melindungi rakyat ketika terdapat kebijakan Pemerintah sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan, terjadi penyimpangan yang berdampak luas dan merugikan kehidupan rakyat banyak.
DAULAT RAKYAT BERGESER
Penggunaan Hak Angket dalam persoalan Pemilu sangat tepat, karena menyangkut hal strategis dan penting terkait dengan konstitusionalitas hak rakyat yang berdaulat untuk memilih DPR, DPD, DPRD dan Presiden RI secara luber dan jurdil, tetapi dalam proses pelaksanaannya, diduga diselewengkan demi Dinasti Politik dan Nepotisme.
Padahal secara hukum positif, Dinasti Politik dan Nepotisme merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara oleh TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan oleh UU No. 28 Tahun 1999, Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Di dalam UU Pemilu dikatakan bahwa Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota DPR-DPD-DPRD dan Presiden secara luber dan jurdil dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan Pemilu yang Luber dan Jurdil menjadi asas pemilu yang diatur di dalam UUD 1945.
Ketika Pemilu dilaksanakan tetapi menyimpang dari asas-asasnya yang digariskan UUD 45 karena peran destruktif Dinasti Politik dan Nepotisme, maka pada saat yang sama kedaulatan rakyat yang diwujudkan lewat pemilu jurdil, telah dikhianati dan digeser menjadi kedaulatan di tangan "Dinasti Politik" dan "Nepotisme" lewat MK atas nama sengketa hasil pemilu.
Mengapa, karena di MK sudah ada Ipar dan Paman yang siap mendegradasi Kedaulatan Rakyat lewat hasil "Pemilu" dengan membawa sengketa perselisihan hasil pemilu ke MK untuk menentukan siapa Capres dan Cawapres sebagai pemenangnya.
Akhirnya Pemilu yang semula sebagai sarana kedaulatan rakyat bergeser ke "MK" sebagai sarana kedaulatan rakyat, menentukan siapa Wakil Rakyat dan siapa Presiden dan Wakil Presiden RI yang ditentukan oleh Dinasti Politik dan Nepotisme yang ada di supra struktur politik lintas lembaga tinggi negara. Ini menjadi ancaman serius bagi kehidupan Demokrasi dan Daulat Rakyat di negeri ini.
SIKAP PDIP DIAPRESIASI
Karena itu Para Advokat TPDI dan Perekat Nusantara patut mengapresiasi sikap PDIP yang menolak pandangan Partai Nasdem agar Hak Angket DPR, dibuat perjanjian tertulis dengan PDIP.
Penolakan PDIP beralasan hukum dan argumentatif karena Hak Angket adalah hak Anggota DPR. Sementara Parpol sekalipun punya Fraksi di DPR namun kedudukannya hanya sebagai fasilitator sehingga cukup dengan mendeclare dukungannya lewat media kepada publik, sudah memberikan legitimasi politik.
Usul Partai Nasdem tentang perlunya perjanjian dalam Hak Angket, telah melecehkan Hak Anggota DPR dan Hak Rakyat.
Ini kontraproduktif dan pragmatis bahkan memalukan karena telah memperlihatkan betapa watak transaksional Partai Nasdem dipertontonkan tanpa malu-malu.
Publik melihat, Partai Nasdem belum bisa melepaskan diri dari watak "transaksional" dalam berpolitik, hanya karena Partai Politik memiliki kekuasaan pengendali lewat Fraksi-Fraksi di DPR, lantas membuat Partai Politik berwatak transaksional dalam aktifitas politiknya (MAS).