JAKARTA, iNews Media - Pakar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Profesor Adrianus Eliasta Sembiring Meliala menduga Diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arya Daru Pangayunan meninggal dunia karena tindakan bunuh diri dengan cara asfiksia atau menahan jalur nafas.
Ia menilai aksi tersebut bisa jadi telah direncanakan dalam waktu yang lama, bahkan kemungkinan korban sudah pernah mencobanya. “Kalau dia memang memutuskan untuk bunuh diri, maka ada 2 kemungkinan; (yakni) sesuatu dipikirkannya baru-baru saja, atau sesuatu yang memang sudah bertahun, sudah menjadi suatu yang dipikirkannya, dibayangkannya, bahkan dia mungkin sudah mencoba.
Nah, mana yang benar? Kita lihat dari kepolisian,” ujar Prof Adrianus saat berbincang dengan Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang syuting pada Selasa, 29 Juli 2025, sebelum Polda Metro Jaya mengumumkan hasil penyelidikan kematian Arya Daru, dan dikutip pada Jumat (8/8).
Diplomat muda berusia 39 tahun itu ditemukan tewas di kamar kosnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 8 Juli 2025. Kematiannya cukup misterius karena ditemukan dalam kondisi tubuh berselimut di atas kasur, serta kepala tertutup plastik lalu terlilit lakban.
Dari hasil penyelidikan polisi, diduga alat yang digunakan untuk bunuh diri sudah dipersiapkan cukup lama. Misalnya lakban berwarna kuning yang melilit Arya Daru yang dibeli di Yogyakarta pada Juni lalu. Indikasi bunuh diri juga menguat lantaran polisi tidak menemukan bekas sidik jari orang lain di lakban tersebut, begitupun dengan barang-barang di TKP seperti sprei dan gelas kaca.
Polda Metro Jaya menyimpulkan kematian Arya Daru tidak diakibatkan oleh tindak pidana seperti pembunuhan atau penganiayaan. Sementara hasil autopsi menunjukkan korban diduga kehabisan oksigen akut pada jantung. Menurut Prof Adrianus, keputusan korban untuk bunuh diri telah dipersiapkan dengan matang. Hal itu bisa dilihat melalui rekaman CCTV sesaat sebelum korban ditemukan tewas.
“Kalau kita lihat dari video ketika yang bersangkutan keluar dari kamarnya membuang sampah dan kembali, itu kan, bukan (cara) jalannya orang yang sedang bingung, tapi orang yang sudah firm dengan decision-nya (keputusannya bunuh diri),” kata Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) tersebut.
Anggota Ombudsman RI periode 2016-2021 itu menjelaskan, dugaan bunuh diri diperkuat lagi dengan kondisi TKP yang tidak menunjukkan tanda-tanda unsur pidana. Sehingga memudahkan polisi untuk melakukan eksplorasi.
“Kalau kita berangkat dari ilmu investigasi kepolisian, penyelidikan dimulai dari TKP. Dan ketika itu TKP sudah cukup jelas menunjukkan bahwa entry variant tidak ada, tanda-tanda kerusakan juga tidak ada. Adanya
CCTV yang mengindikasikan bahwa ada orang masuk juga tidak ada (selain Daru) dan juga tidak ada barang-barang hilang,” ujar Prof Adrianus.
Komisioner Kompolnas periode 2012-2016 itu menambahkan, keputusan untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri memang kerap berkaitan dengan mental. Namun ia belum dapat memastikan apakah persoalan tersebut menjadi motif Arya Daru nekat mengakhiri hidupnya.
“Jangan dilihat orangnya gagah, berhasil dalam tugas, karirnya cemerlang. Kadang-kadang kita terlena dalam tampilan, padahal sebenarnya di balik itu dia menjadi pribadi yang rapuh, mudah berpikir kalah, dan harus mengakhiri hidup ini dengan cara bunuh diri,” kata dia.
Prof. Adrianus berharap kasus tersebut menjadi pelajaran bagi masyarakat agar tidak mudah menyerah pada masalah pribadi yang dihadapi, apalagi hingga nekat bunuh diri. “Tentu saja semua orang punya tekanan, tapi sebagai individu kita bisa menanggung tekanan itu apa tidak? Di sini yang jadi masalah.
Orang memakai asumsi bahwa yang bersangkutan masih muda, karirnya bagus, diplomat pula, pernah penempatan di berbagai (tempat), maka harusnya bisa menanggung tekanan dong? Asumsi yang begini menjadi beban baru bagi seseorang dan kemudian memilih untuk kalah,” ucapnya (MAS).