JAKARTA, iNews Media - Presiden Prabowo membuka lembaran baru sejarah hukum dengan memberi amnesti dan abolisi untuk terpidana kasus korupsi: Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong. Amnesti adalah mengampuni kesalahan: terpidana dianggap bersalah, namun kesalahannya diampuni.
Abolisi adalah menganggap terpidana tidak bersalah, tidak layak diadili, apalagi dihukum. Konstitusi (UUD 45) memberi presiden hak konstitusional untuk menerbitkan abolisi, grasi dan amnesti bagi terpidana-terpidana tertentu.
Setiap tahun, di Hari Kemerdekaan, presiden memberikannya. Namun yang paling sering adalah grasi: pengurangan hukuman; terpidana dianggap bersalah dan sudah dijatuhi hukuman, namun hukuman dikurangi. Grasi diberikan kepada ribuan terpidana setiap tahun.
Amnesti diberikan secara lebih selektif, umumnya menyangkut kasus politik. Abolisi jarang sekali diberikan. Baik Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie maupun Abdurrahman Wahid pernah memberi amnesti, umumnya menyangkut kasus-kasus seperti separatisme, pembangkangan dan pemberontakan.
Jarang sekali amnesti, apalagi abolisi, diberikan dalam kasus korupsi. Orang terakhir yang pernah diberi abolisi adalah Sri Bintang Pamungkas, tokoh oposisi Orde Baru. Sri Bintang dipidana dengan dua tuduhan: menghina Presiden Soeharto dan melakukan makar.
Presiden BJ Habibie memberi Sri Bintang amnesti untuk kasus penghinaan, dan memberi abolisi untuk kasus makar. Presiden Prabowo membuka lembaran baru. Presiden tak hanya memberi amnesti kepada Hasto, tapi juga memberi abolisi dalam kasus Tom Lembong. Keduanya diadili dengan tuduhan suap/korupsi.
Dalam kasus Hasto, Presiden menganggap yang bersangkutan bersalah, namun kesalahannya diampuni. Dalam kasus Tom Lembong, Presiden menganggap peradilannya cacat. Tom tak layak diadili, apalagi dijatuhi hukuman, sama seperti Sri Bintang Pamungkas tak layak diadili untuk kasus makar (subversif).
Dari segi tata negara, pemberian abolisi kepada Tom Lembong adalah bentuk check and balances antara kekuasaan eksekutif (presiden) dan kekuasaan yudikatif (hakim). Presiden mengoreksi keputusan hakim secara substansial. Dalam bahasa yang lebih gamblang: presiden menilai sesat peradilan terhadap Tom Lembong.
Check and balances seperti itu tentu bagus. Masalahnya adalah apakah presiden melakukan itu hanya untuk deal politik jangka pendek atau untuk ikut berperan memperbaiki hukum kita yang rusak parah secara sistemik. Kerusakan hukum yang berlanjut hanya akan membuat tekad pemberantsan korupsi jauh panggang dari api.
Dari Menteri Hukum Supratman Andi Agtas kita mendengar motif pemerintahan Prabowo hanya sekadar rekonsiliasi politik di kalangan elit: "Kita ingin menjadi ada persatuan dan dalam rangka perayaan 17 Agustus." Artinya, masih menjadi pertanyaan besar apakah presiden bisa mengoreksi kekuasaan kehakiman secara konsisten dan tanpa pandang bulu untuk kasus-kasus serupa.
Ada banyak kasus peradilan sesat (bahkan sejak dalam pemberkasan oleh polisi), yang menunjukkan rusaknya hukum kita secara sistemik dan struktural. Pekan ini, misalnya, polisi menangkap aktivis Aksi Kamisan yang melakukan demonstrasi secara damai dengan tuduhan "melawan kapitalisme".
Tuduhan itu ironis jika disandingkan dengan vonis hakim Tom Lembong yang menyebut Tom layak dihukum karena "mendukung kapitalisme". Ada banyak kasus akibat penyalahgunaan wewenang polisi dan jaksa, bahkan di kalangan penyidik KPK (yang kini makin kehilangan kredibilitasnya).
Kasus-kasus sederhana itu menunjukkan rusaknya hukum dan aparat, dari polisi, jaksa, hingga hakim, secara sistemik. Korban-korban kerusakan itu adalah orang-orang kebanyakan yang tidak memiliki kemewahan sebagai "public figure" seperto Hasto atau Tom Lembong.
Dan sebagian mereka bahkan sama sekali tidak layak ditangkap, hanya kerena mengkritik dan melawan kebijakan pemerintah. Presiden Prabowo semestinya meniru BJ Habibie, yang memberi abolisi untuk mengubah paradigma berpikir bahwa mengkritik dan melawan pemerintah itu bukan kejahatan.
Ini tidak hanya memperbaiki logika hukum tapi juga meningkatkan kualitas demokrasi. Lebih dari segalanya, bahkan jika ingin melakukannya, Presiden Prabowo tak bisa mengoreksi satu per satu kasus mirip Tom Lembong yang banyak sekali.
Presiden bersama DPR dituntut untuk melakukan reformasi hukum secara substansial dan struktural yang berlaku tanpa pandang bulu; termasuk reformasi total polisi yang merupakan ujung tombak berhadapan langsung dengan masyarakat awam yang sering menjadi korban penyalahgunaan hukum (MAS).