JAKARTA, iNews Media - Melalui surat yang dilayangkan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menginstruksikan kepada seluruh Pengurus Badan Koordinasi HMI dan Pengurus HMI Cabang se-Indonesia dan Luar Negeri untuk melakukan aksi Jihad Konstitusi serentak di seluruh wilayah Indonesia pada, Kamis (22/08/2024).
Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pembangkangan terhadap hukum, penghianatan terhadap demokrasi, merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) terhadap rakyat. DPR RI tidak mematuhi dan melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/202.
Melalui Surat yang dilayangkan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menginstruksikan kepada seluruh Pengurus Badan Koordinasi HMI se-Indonesia dan Pengurus HMI Cabang se-Indonesia dan Luar Negeri untuk melakukan aksi Jihad Konstitusi serentak di seluruh wilayah Indonesia pada, Kamis (22/08/2024). Sebagai negara hukum (rechsstaat) dan negara demokrasi terbesar di Asia. Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang luar biasa, ada ancaman terhadap eksistensi hukum dan masa depan demokrasi.
Pembangkangan terhadap hukum, penghianatan terhadap demokrasi, merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) terhadap rakyat. Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk memperkuat dasar-dasar konstitusional.
MK dibentuk untuk menjalankan Judicial Review atas UU yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 hal ini merupakan perkembangan hukum politik ketatanegaraan modern di Indonesia.
Namun, cita-cita pembentukan MK ini telah 'dikencingi, diludahi, dan dicederai', sebab MK yang seharusnya menjadi the guardians of constitution dan di dalam teori trias politica sebagai Yudikatif (penegak hukum, memberikan keadilan, dan memutuskan perselisihan hukum), telah dibunuh. Faktanya putusan MK kini tak lagi dianggap inkracht.
Dalam konsep separation of power (pemisahan kekuasaan) MK sebagai Yudikatif, tidak berdiri sendiri, ada Eksekutif dan Legislatif. Ketiga pilar kekusaan ini merupakan pilar penting bernegara, harus berjalan bersama tanpa saling menegasikan, namun apa yang terjadi saat ini, adalah sebaliknya. DPR RI melakukan revisi sejumlah Pasal dalam UU Pilkada dalam waktu yang sangat singkat, tanpa moral dan menabrak dinding-dinding batas konstitusional. Putusan MK Nomor 60/PU/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia calon kepala daerah yang diambil saat penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Dua putusan terbaru ini seharusnya akan memberikan angin segar bagi demokrasi elektoral di Indonesia. Namun pasca putusan MK tersebut, DPR RI melalui Badan Legislaltif membentuk Panitia Kerja (Panja) UU Pilkada untuk melakukan pembahasan revisi UU Pilkada pada Rabu, 21 agustus 2024.
Revisi UU Pilkada tersebut sebagai upaya nyata untuk menjegal dan membungkam Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 dan kembali memasukkan pasal inkonstitusional pada Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Revisi ini rencana akan di sahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis, 22 Agustus 2024 pukul 09.30 WIB sebagaimana Surat Undangan Rapat Paripurna Nomor B/9827/LG.02.03/8/2024.
Sangat ironis, mengecewakan, dan menyedihkan. Bahwa DPR RI sebagai Lembaga Legislatif yang memiliki fungsi utama untuk penyusun regulasi dan mengawasi kekuasaan ternyata semakin tenggelam dan terjebak dalam 'nafsu kekuasaan yang justru mengamputasi hukum dan kewarasan serta kepercayaan publik kepada lembaga para wakil rakyat' ini.
DPR RI juga kini seakan menjadi kaki tangan elit dan rezim otokratis untuk melanggengkan otokrasi legalisme. Memonopoli regulasi untuk mempertahankan kekuasaan, memperkuat fondasi regulasi dengan manipulasi narasi, pelanggaran hukum, dan etika secara terstruktur, sistematis, dan masif. Harapan publik atau rakyat, bahwa DPR RI menjadi wakilnya yang amanah, jujur, dan teladan, justru sebaliknya 'cawe-cawe' di dalam menjegal Putusan MK melalui hasil rapat DPR-RI hari Rabu, tanggal 21 Agustus 2024.
Pembangkangan terhadap konstitusi, dengan mengbaikan, menghilangkan, meniadakan, dan tidak menggunakan Putusan MK harus dilawan, hal ini demi supremasi hukum dan tegaknya pilar demokrasi, serta kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, Himpunan Mahasiswa Islam menyerukan :
- Mendesak DPR RI untuk Mencabut Hasil Rapat Panja yang membahas tentang UU Pilkada dan/atau Mematuhi Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024;
- Mendesak KPU RI sebagai self regulatory bodies (pelaksana hukum) untuk Menindaklanjuti dan Melaksanakan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024 sebab sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2020 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final and binding:
- Mendesak BAWASLU untuk Menjalankan Checks and Balances untuk memastikan KPU melaksanakan Putusan MK, dan jika tetap tidak dilaksanakan'. Maka DKPP berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat harus memberikan sanksi tegas kepada para pihak;
- Menolak dengan tegas wacana untuk Menerbitkan PERPU yang berpotensi menjadi "biang' masalah baru, sangat tendensius, dan akan mempengaruhi politik hukum pada Pilkada;
- Mengingatkan kembali, jika Revisi UU Pilkada tetap dilanjutkan dengan tetap mengabaikan Putusan MK, maka kami mengajak seluruh elemen bangsa untuk bangkit dan bersatu, melawan dan menyelamatkan Indonesia dari Monster-Monster Jahat yang kini mengancam hukum dan demokrasi serta masa depan bangsa dan negara kita (MAS).