15%

Saat Presiden Memimpin Diplomasi: Dominasi Prabowo dan Arah Baru Politik Luar Negeri Indonesia

14-Aug-2025

JAKARTA, iNews Media - Diplomasi bukan sekadar instrumen komunikasi luar negeri, tetapi juga cerminan nilai, kepentingan nasional, dan strategi kekuasaan. Peran presiden dalam diplomasi selalu signifikan, namun era Prabowo Subianto menunjukkan keterlibatan yang lebih dominan dan personal. Gaya kepemimpinan tegas, berorientasi militer, dan perspektif geopolitik khas menciptakan arah baru politik luar negeri Indonesia di tengah dinamika global yang kompleks.

Tulisan ini mengkaji bagaimana dominasi Presiden Prabowo mempengaruhi orientasi politik dan strategi kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya dalam pendekatan bilateral dan multilateral, serta dampaknya terhadap institusi diplomatik dan prinsip non-blok.

Peran Prabowo menonjol sebagai ujung tombak diplomasi. Prabowo langsung berpidato di World Governments Summit, menegaskan Indonesia sebagai jembatan dunia dan menyerukan penyelesaian konflik di Ukraina, Gaza, dan Kongo. Pada KTT G20 di Brasil (November 2024), ia mendorong kolaborasi global dalam pembangunan berkelanjutan, transisi energi, penanganan kemiskinan, dan perubahan iklim.

Selain forum multilateral, Prabowo memimpin kunjungan bilateral ke Tiongkok, Peru, Turki, Yordania, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Pembahasan mencakup ekonomi, investasi, pertahanan, dan isu diaspora. Pendekatan ini dinilai memperkuat posisi Indonesia karena legitimasi kepala negara dapat mempercepat pengambilan keputusan strategis. Strategi serupa juga diterapkan negara lain pada momen krusial.

Perubahan Pola Diplomasi

Pergeseran dari diplomasi berbasis institusi ke diplomasi personal terlihat dari intensitas keterlibatan Prabowo dalam forum strategis. Pendekatan kini lebih aktif, ofensif, dan strategis, ditandai komunikasi langsung dan penguatan citra Indonesia. Jika era Joko Widodo menekankan peran Kementerian Luar Negeri, multilateralisme, dan prinsip bebas aktif, Jokowi cenderung menyerahkan tugas representasi pada menteri, fokus pada pembangunan domestik.

Sebaliknya, Prabowo membawa orientasi baru yang lebih terbuka pada hubungan antarpemimpin, simbol kekuatan Indonesia di forum global, serta sikap berani pada isu pertahanan dan geopolitik kawasan. Ia aktif di ASEAN dan G20, serta melakukan kunjungan bilateral ke mitra strategis seperti Tiongkok, Malaysia, Arab Saudi, dan Rusia. Jokowi sendiri mengapresiasi keberhasilan Prabowo menyepakati IEU-CEPA dan negosiasi tarif ekspor dengan AS melalui komunikasi langsung dengan Presiden AS.

Personalisasi diplomasi ini muncul karena beberapa faktor. Pertama, tatanan global kini semakin transaksional, membuat hubungan internasional lebih pragmatis dan berbasis pada kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik yang bersifat langsung.

Diplomasi modern juga melibatkan aktor non-negara seperti LSM dan perusahaan multinasional sehingga pola diplomatik menjadi lebih kompleks dan personal. Kedua, gaya kepemimpinan Prabowo sendiri menjadi faktor penting.

Ia dikenal sebagai sosok yang kuat namun hangat, membangun hubungan personal dengan para pemimpin dunia dan sering menyapa mereka dengan julukan akrab. Ketiga, fokus pada isu keamanan di era global yang dinamis membuat diplomasi personal semakin relevan, karena isu-isu tersebut menuntut respons cepat dan kesepakatan yang efektif. Melihat latar belakang militer yang dimiliki oleh Prabowo memberinya pemahaman mendalam tentang keamanan regional dan strategi global.

Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihannya, peran eksekutif langsung memungkinkan respons cepat, memberi kesan serius pada isu internasional, dan memotong birokrasi. Latar belakang militer Prabowo memberi pemahaman mendalam soal keamanan regional, didukung jaringan internasional yang memfasilitasi diplomasi informal efektif.

Namun, ketergantungan pada satu figur berisiko menciptakan kebijakan personalistik yang kurang konsisten dan tidak berkelanjutan. Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Athiqah Nur Alami, menilai gaya personalistik berpotensi memunculkan risiko arah kebijakan luar negeri yang bergantung pada figur presiden.

Mengapa isu ini penting berkaitan dengan arah baru politik luar negeri Indonesia?

Kebijakan luar negeri berdampak pada lapangan kerja, harga barang, keamanan nasional, dan reputasi internasional. Dengan posisi strategis, Indonesia harus mengamankan kepentingan nasional di tengah rivalitas AS–Tiongkok, konflik Timur Tengah, dan sengketa Laut China Selatan.

Keterlibatan pribadi Prabowo dalam diplomasi menunjukkan pergeseran dari pendekatan institusional ke realpolitik berbasis aliansi strategis, hubungan militer, dan kekuatan ekonomi. Strategi ini memberi keuntungan jangka pendek, namun berisiko menggerus posisi netral Indonesia di ASEAN dan Global South.

Menurut CSIS, kredibilitas Indonesia sebagai “geopolitical swing state” bergantung pada konsistensi, transparansi, dan komitmen multilateral. Diplomasi yang terlalu personal atau transaksional dapat mengurangi soft power Indonesia dan menyeretnya ke dinamika kekuasaan global.

Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan?

Dominasi Prabowo tidak harus mengancam diplomasi institusional. Jika diarahkan tepat, gaya personal presiden bisa melengkapi kerja diplomasi kelembagaan. Contohnya di AS, presiden memimpin kebijakan luar negeri namun didukung State Department, National Security Council, dan Kongres. Di Prancis, Macron memimpin langsung agenda strategis tetapi tetap melibatkan Kementerian Luar Negeri.

Belajar dari praktik tersebut, Indonesia perlu menyeimbangkan otoritas presiden dan kekuatan institusi diplomatik melalui checks and balances, seperti keterlibatan DPR dalam ratifikasi perjanjian internasional dan transparansi negosiasi strategis.

Kebijakan luar negeri bukan hanya soal pertemuan tingkat tinggi, tapi kredibilitas jangka panjang dan integritas kelembagaan. Diplomasi yang terlalu berpusat pada satu individu berisiko menghilangkan konsistensi. Institusi kuat adalah penjamin kepentingan nasional lintas generasi.

Negara seperti AS dan Prancis menunjukkan pentingnya keseimbangan antara diplomasi kepresidenan dan kekuatan institusi. Indonesia pun harus menjaga keseimbangan tersebut demi reputasi kolektif di panggung dunia (Oleh: Devina Khansa Ayu Prames, Syaripah Shofiah Azzahra, Wafa Afifah).

Topik : #PrabowoSubianto #DPR/MPR #PartaiRakyatIndonesia
Similar Posts