15%

Beratnya Melawan Arus, Menghapus Budaya Perundungan di Dunia Kedokteran

22-Sep-2024

JAKARTA, iNews Media - Perubahan besar kerap kali dimulai dari satu langkah kecil, meski langkah itu harus diambil dengan penuh tantangan. Begitu pula dalam upaya menghentikan budaya perundungan di dunia pendidikan kedokteran, yang menjadi perhatian serius setelah insiden tragis yang menimpa Alm. Aulia Risma Lestari, mahasiswi *Program Pendidikan Dokter Spesialis* (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

Tragedi ini membuka mata banyak pihak tentang betapa mengakarnya masalah perundungan, yang tak hanya melukai mental mahasiswa, tetapi juga merusak sistem pendidikan kedokteran secara keseluruhan. Upaya untuk memperbaiki sistem ini, sayangnya, tidak mudah. Sebuah niat baik untuk memutus rantai kebiasaan buruk justru menghadapi penolakan keras dari beberapa pihak yang merasa terganggu oleh perubahan ini.

Niat Positif dan Dukungan untuk Proses Hukum

Setelah kasus ini mencuat ke publik, Kementerian Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin dengan tegas menyerahkan proses penyelidikan sepenuhnya kepada pihak kepolisian. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa setiap fakta dan bukti diproses secara profesional dan transparan. Penyidikan yang sudah dilakukan, termasuk pemeriksaan puluhan saksi terkait, merupakan bagian dari proses ini. 

Meskipun langkah Budi Gunadi menghadapi penolakan dari beberapa kalangan yang mempertanyakan keabsahan pernyataan terkait perundungan, dukungan penuh tetap diberikan kepada proses hukum yang berjalan. Niat ini memperlihatkan komitmen dalam mengungkap kebenaran dan memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat, termasuk keluarga korban yang masih berduka.

Menghentikan Siklus Perundungan

Masalah perundungan di lingkungan pendidikan dokter spesialis bukanlah fenomena baru. Di berbagai lembaga, hubungan senior dan junior yang hierarkis sering kali menjadi akar dari perilaku perundungan. Seperti peristiwa yang terjadi pada PPDS Undip, meski secara resmi telah diakui, serta permohanan maaf terbuka oleh lembaga tersebut, namun kebiasaan ini, yang ironisnya dianggap sebagai "cara membentuk mental" para dokter muda, justru melemahkan semangat dan integritas mereka. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama, khususnya Kemenkes RI.

Upaya Menkes RI untuk menghentikan praktek ini bukan hanya soal kebijakan atau aturan, tetapi lebih dari itu, soal perubahan budaya dan mindset. Perundungan tak bisa lagi dianggap sebagai cara efektif untuk membentuk ketangguhan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang membangun melalui pelatihan dan disiplin yang sehat, serupa dengan metode yang diterapkan dalam pendidikan profesional lainnya.

Perlawanan Terhadap Perubahan

Tidak hanya di dunia pendidikan kedokteran, upaya Menkes Budi Gunadi Sadikin untuk mengubah kebiasaan buruk sering kali dihadapkan pada tantangan besar. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, misalnya, pernah menghadapi penolakan ketika menerapkan kebijakan tegas terhadap penangkapan ikan ilegal. Meski langkah tersebut melindungi sumber daya alam Indonesia, banyak pihak yang merasa dirugikan dan memberikan perlawanan. Namun, demi tujuan yang lebih besar, kebijakan tersebut tetap dijalankan.

Di luar negeri, mantan Presiden Perempuan Pertama Chili, Michelle Bachelet, juga menghadapi tantangan saat memperjuangkan reformasi sosial untuk pekerja dan perempuan. Meski menghadapi tentangan keras dari kelompok konservatif dan dunia bisnis, reformasi tersebut berhasil mengubah wajah kesejahteraan sosial di Chili. 

Dari contoh-contoh ini, terlihat bahwa perubahan, terutama yang menyentuh kepentingan banyak pihak, hampir selalu menghadapi tantangan. Namun, komitmen terhadap tujuan mulia sering kali menjadi penopang utama dalam menghadapi hambatan tersebut.

Budaya Perundungan yang Mengakar

Fenomena perundungan tidak hanya terjadi di Indonesia. Dr. Philip Zimbardo, psikolog sosial Amerika Serikat yang terkenal dengan eksperimen penjara Stanford, menyatakan bahwa perundungan adalah salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Struktur hierarkis yang kaku di lingkungan pendidikan sering kali memicu perilaku senior yang merasa berhak menekan junior dengan alasan "melatih" atau "menguji ketangguhan."

Perundungan bahkan dianggap sebagai hal yang normal dalam beberapa budaya, seperti yang terjadi di Jepang. Pada tahun 2019, seorang mahasiswa kedokteran di Jepang meninggal dunia akibat perundungan, yang akhirnya memaksa pemerintah memperketat aturan tentang perundungan di tempat kerja dan lembaga pendidikan.

Siklus perundungan terus berulang karena para senior yang pernah menjadi korban merasa perlu meneruskan "tradisi" ini kepada junior mereka. Lebih buruk lagi, korban perundungan sering kali memilih diam karena takut berbicara, yang membuat budaya ini semakin sulit dihilangkan.

Momentum untuk Perubahan

Upaya untuk menghapus budaya perundungan tidak bisa hanya bergantung pada satu pihak. Ini adalah tugas bersama. Kasus yang terjadi di Undip sudah seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak baik pemerintah, universitas, rumah sakit, maupun masyarakat luas untuk bergerak bersama dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman dan adil.

Perubahan besar memang tidak terjadi dalam semalam, tetapi setiap langkah kecil menuju ke arah yang lebih baik akan memberikan dampak signifikan. Jika semua pihak berkomitmen untuk menghentikan praktek yang merugikan ini, masa depan pendidikan kedokteran Indonesia akan jauh lebih baik, di mana setiap calon dokter bisa belajar dan berkembang dengan martabat, tanpa tekanan yang merusak (MAS).

 

Topik : #TokohPolitik #KomisiPemberntasanKorupsi #Pendidikan
Similar Posts