JAKARTA, iNews Media - Direktur Eksekutif Anatomi Pertambangan Indonesia (API), Riyanda Barmawi menanggapi pernyataan resmi PT. Kangean Energy Indonesia (KEI) atas aktifitas pertambangan gas bumi di Pulau Pagerungan, Blok Kangean, Sumenep, Jawa Timur.
Perusahaan milik Group Bakrie tersebut mengklaim bahwa pihaknya telah beroperasi sesuai dengan ketentuan hukum dan menjalani tanggungjawab sosial kepada masyarakat setempat. Menurut Riyanda, klaim KEI bahwa aktivitas mereka telah sesuai hukum hanyalah kosmetik narasi legalisme yang mengabaikan fakta paling mendasar.
Riyanda menekankan bahwa Pulau Pagerungan adalah wilayah ekologis rapuh yang telah dijadikan ruang eksploitatif dengan justifikasi birokratis yang cacat secara moral. “Ketika kerusakan ekologis dibungkus dalam retorika perizinan dan penghargaan lingkungan, publik patut curiga bahwa yang dijaga bukanlah alam, melainkan kepentingan komersial,” ujar Riyanda.
Lebih lanjut, Riyanda menjelaskan bahwa dalam keterangannya, KEI tidak menyebutkan fakta bahwa pulau Pagerungan Besar telah melewati batas daya dukung. Katanya, sejak dekade 2000-an, Pulau Pagerungan telah mengalami pembebanan ganda yakni aktivitas migas di lepas pantai serta pembangunan infrastruktur industri yang massif di pulau kecil itu.
“Padahal, riset Kementerian PPN/Bappenas mengklasifikasikan pulau-pulau seperti Pagerungan sebagai zona kritis ekologis, di mana perambahan besar-besaran akan memicu krisis air tanah, abrasi pesisir, dan ancaman hilangnya biodiversitas endemik. KEI tak pernah menyajikan data dampak kumulatif ekologis yang objektif di publik,” terang Riyanda.
Selain itu, Kata Riyanda, kesesuaian ruang laut dan Proper Hijau yang dibangga-banggakan KEI tidak menjadikan perusahaan tersebut telah memenuhi tanggung jawabnya. Kata dia, KKPRL hanya mencocokkan rencana KEI dengan dokumen tata ruang yang pada dasarnya dapat diubah lewat kepentingan politik.
“Penghargaan Proper Hijau? Itu hanyalah penilaian administratif internal dari Kementerian yang tak berdaya menembus realitas ekologis. Bahkan sejumlah perusahaan perusak lingkungan seperti tambang batu bara pun pernah dianugerahi proper hijau. Ini bukti bahwa sistem kita bisa dikompromikan, dan KEI memanfaatkannya,” tegas Riyanda.
Riyanda juga menuding bahwa KEI menutup data kritis, dan menuduh kritik sebagai fitnah. Dia menjelaskan, alih-alih membuka dokumen AMDAL, hasil audit limbah, dan kajian risiko ekosistem, KEI justru memainkan narasi ‘kami diawasi SKK Migas’.
Menurut Riyanda, narasi semacam itu bukanlah bentuk transparansi, melainkan upaya pengalihan. “Ketika publik bereaksi terhadap kerusakan yang mereka saksikan sendiri, penurunan kualitas air, terganggunya wilayah tangkap nelayan, hingga akses publik yang makin terbatas, KEI malah memframingnya sebagai fitnah.
Retorika seperti ini mencerminkan arogansi kekuasaan korporat yang enggan akuntabel,” tegas Riyanda. Mengenai program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat yang juga dibangga-banggakan KEI, menurut Riyanda sama sekali jauh dari kata berhasil.
“Coba mereka suruh jujur, sejak 1994 hingga saat ini mereka menghisap gas bumi disana, sudah sejauh mana dampak keberadaan mereka terhadap kesejahateraan masyarakat di kepulauan? UMKM binaan KEI yang mana, yang sudah berhasil mendongkrak ekonomi masyarakat?” tanya Riyanda.
“Mereka mengklaim melayani masyarakat di bidang kelistrikan? Masyarakat di Pulau Pagerungan Kecil itu menikmati listrik apa? Listrik yang nyala 2-4 jam per hari secara bergantian itu? Apakah itu sesuai dengan kompensasi yang didapatkan masyarakat pulau setelah kekayaan pulau mereka dihisap? sumber mata pencaharian mereka dihancurkan untuk jangka waktu yang panjang? Sudahlah, tidak usah membela diri atas kehancuran yang kalian buat di kepulauan demi keuntungan perusahaan kalian,” tutup Riyanda (MAS).